Money Politics, Cara terampuh dalam dunia politik
Aroma politik semakin terasa menjelang Pemilu
Legislatif dan Presiden digelar. Para calon semakin gencar mengaktualisasikan
diri demi meraih suara rakyat. Berbagai iming-iming janji mereka umbar. Ploter
para calon berterbaran di sepanjang jalan, bahkan sampai masuk ke pelosok desa.
Hampir seluruh ruang yang tersisa berisi tampang mereka lengkap dengan hiasan
senyumnya. Bahkan disamping fotonya terdapat tokoh-tokoh/pejabat terkenal untuk
menarik hati masyarakat (benarkan?).
Demi meraih suara rakyat, berbagai cara mereka
tempuh. Sebagian calon ada yang “terlalu jujur” dengan hanya bermodal ketenaran
sebagai artis ataupun tokoh masyarakat. Di sisi lain calon yang tidak memiliki
ketenaran sama sekali, tetapi karena memiliki modal finansial yang besar,
mereka menggunakannya sebagai sarana untuk meraih suara mayoritas, baik dengan
cara memberikan secara terang-terangan dengan syarat agar penerima pemberian
memilih mereka, ataupun mereka memanipulasi dengan berbagai bentuk, seperti
berwujud sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan (benarkan
lagi kan?) untuk menciptakan citra agar orang menganggapnya sebagai orang
dermawan, hingga yang dibungkus sedekah dan pemberian secara individual.
Menanggapi fenomena semacam ini sembilan abad
silam, Imam Ghazali telah memberikan rumusan detail dalam mengklasifikasikan
pemberian seseorang. Menurut Beliau setiap pemberian pasti memiliki tujuan,
baik ukhrawi maupun duniawi. Dengan meninjau tujuan dari
pemberian itu Imam Ghazali membagi menjadi 5 model.
Pertama,
pemberian yang murni bertujuan pahala, seperti
pemberian pada orang yang membutuhkan, kepada kiai/ulama, atau kepada tokoh
yang dihormati. Pemberian semacam ini jelas diperbolehkan dan halal diterima
jika memang orang yang menerimanya sesuai dengan yang diinginkan pemberi.
Kedua, pemberian yang bertujuan mendapatkan imbalan berupa harta. Untuk model
semacam ini boleh diterima jika pemberi mendapatkan apa yang diinginkan.
Ketiga,
pemberian
dengan harap berbalas pertolongan, seperti yang berkepetingan kepada seorang
pemimpin, petugas, atau orang yang memiliki pengaruh di sisi pemimpin.
Pemberian model ini perlu meninjau keinginan
yang ingin dicapai pemberi. Jika keinginan itu berupa hal yang diharamkan maka
haram mengambil pemberiannya. Jika berupa kewajiban yang menjadi tugas
penerima,mmaka yang seperti ini haram karena termasuk risywah (sogokan).
Keempat,
pemberian demi memperkuat rasa cinta dan kasih sayang
tanpa tujuan lain. Seperti saya, saya sering membayar ongkos angkutan teman
saya : ) . model ini bahkan dianjurkan sebagaimana dalam sabda Nabi SAW,
“Saling (memberi) hadiahlah kamu maka kalian semua akan saling mencintai.” (
HR. Baihaqi )
Kelima,
pemberian untuk
memikat hati dengan tujuan terselubung yang ingin dicapai.
Dari lima model pemberian diatas, fenomena
dalam dunia politik lebih mirip dengan model kelima. Pemberian para calon
kepada masyarakat dan tokoh masyarakat bukanlah sogokan, sebab mereka tidak
memiliki kekuasaan penuh menentukan tonggak kepemimpinan. Tetapi pemberian
semacam ini, sekalipun ada kemungkinan murni berupa sedekah, tetap memiliki
kemiripan dengan sogokan, sebab bagaimanapun penerima punya andill dalam
memuluskan keinginan para calon untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, ulamq
berbeda pendapat dalam menyikapi model semacam ini, tetapi paling rendah adalah
hukum makruh syadidah (makruh yang
sangat).
Walhasil, secara fiqh, sah-sah aja menerima pemberian para calon pemimpin yang
diberikan pada saat hingar bingar pemilihan. Sebab bagaimanapun pemberian
tersebut bisa berhukum makruh, bahkan bisa jadi itu murni sedekah. Namun
demikian, perbuatan makruh juga merupakan sebuah larangan yang dianjurkan
syariat untuk dihindari, bahkan jika MEREMEHKAN perbuatan makruh tersebut,
bisa-bisa berakibat fatal karena bisa terjerumus kefasikan.
Post a Comment
- Comment dilarang spam-menyebarkan link
- Untuk mendapatkan backlink berkomentarlah menggunakan gmail / openid
- Dilarang komentar 'dewasa'
-Sharing is Caring. Jangan lupa like fanpage kami