Ingat, penanganan masjid bukan sesuatu yang mudah. Biasanya perlu banyak orang. selain itu, butuh beberapa sarana penunjang untuk melancarkan kegiatan masjid. Oleh karena itu, perlu beberapa orang yang bertanggung jawab dan bertugas menangani pengelolaan masjid tersebut.
Dalam fiqh,
kepengurusan masjid dua: nazhir dan
qayyim. Nazhir adalah orang yang mengurus urusan ‘imarah pembangunan fisik), ijarah
(persewaan), merawat barang wakafan ( dalam hal ini masjid ) dan
penghasilannya, sekaligus membagikannya kepada orang yang berhak menerima.
Sedangkan qayyim adalah petugas yang
mengurusi kegiatan yang menyebabkan masjid ma’mur
(hidup dengan kegiatan ibadah dan serupanya).
Keberadaan nazhir
dan qayyim bisa individu, bisa
pula berkelompok, tentunya harus memenuhi beberapa syarat yang ditentukan
syariat kecuali jika ada rekomendasi khusus dari waqif.
Kriteria pengurus masjid, sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam kitab Tuhfatul
Muhtaj adalah sebagai berikut: Pertama, harus ada pengangkatan dari shulaha’ul balad (tokoh setempat yang
mempunyai pengaruh atau peran penting di masyarakat). Kedua, mempunyai sifat ‘adalah atau adil (bukan pelaku dosa
besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil). Ketiga, memiliki kapabilitas dan
kredibilitas yang memadai. Keempat, al-ihtida’ ilat tasharuf (memiliki
kemampuan untuk mengelola dan men-tasharruf-kan harta yang ditanganinya.
Orang yang tidak memenuhi satu saja dari 4
poin syarat ini, tentu tidak berhak menjadi pengurus masjid.
Selanjutnya, apabila ternyata nazhir (pengurus dalam suatu masjid )
terdiri dari beberapa orang maka harus ada satu orang sebagai pimpinan
kepengurusan (musyrif, dalam istilah
fiqh). Musyrif inilah yang memiliki
hak penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Sementara pengurus yang
menjadi bawahan musyrif inilah yang
memiliki hak penuh untuk mengeluarkan
kebijakan. Sementara pengurus yang menjadi bawahan musyrif tidak boleh
melakukan apapun tanpa rekomendasi atau izin dari musyrif, kecuali dalam hal kecil yang tidak begitu penting dan
tidak memerlukan rekomendasi apapun.
Kemudian, jika seseorang yang menangani masjid
telah tiada dan di tempat itu tidak ada pemerintah yang dianggap memiliki
amanah, rasa tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi, sementara tokoh setempat
tidak mengangkat nazhirpengganti,
maka sebuah masjid menjadi hak penuh ulama dan tokoh setempat.
Di Indonesia sebutan nazhir sebagai orang yang bertanggung jawab untuk menangani masjid
tidak begitu populer. Namun yang lebih terkenal adalah istilah takmir masjid
(yang bertugas me-ma’mur-kan masjid).
Jika ditelusuri lebih lanjut, sebetulnya istilah “takmir” tidak ditemukan dalam
literatur keislaman. Bisa jadi merujuk pada ayat al-Quran yang artinya, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid
Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta
tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun)
selain Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk .” (QS. At-Taubah [9]: 18)
Jika kita bandingkan dengan klasifikasi
kepengurusan menurut fikih, istilah takmir sebagai nazhir, qayyim atau yang lain, meninjau pemenuhan-pemenuhan
syarat-syarat atau kriteria yang telah ditentukan diatas.
Jika takmir disebuah masjid tidak berstatus
sebagai nazhir, maka ia tidak memiliki
otoritas penuh dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan
masjid tersebut, dan tidak berhak memanfaatkan fasilitas masjid yang disediakan
khusus nazhir.
-Yasid Bustomi
Post a Comment
- Comment dilarang spam-menyebarkan link
- Untuk mendapatkan backlink berkomentarlah menggunakan gmail / openid
- Dilarang komentar 'dewasa'
-Sharing is Caring. Jangan lupa like fanpage kami