Sampai disini,
mungkin muncul tanda tanya, “bagaimana mungkin kelompok yang menyerukan
‘kebenaran yang ideal’ berdasar al-Quran
dan Sunnah masih dianggap keliru oleh para ulama pada zamannya? Mengapa
pula paham sebuah kelompok di zaman sekarang yang semua ajarannya merujuk
kepada al-Quran dan Sunnah juga dianggap menyimpang?
Mari kita
perhatikan permasalahan ini secara komplit, agar terlihat “akar masalah” yang
ada pada sikap yang terlihat sangat bagus dan ideal ini:
Pertama, prinsip
“kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah” adalah benar secara teoritis. Namun,
belum tentu benar secara praktis, mengingat tingkat setiap orang dalam memahami
al-Quran dan Sunnah berbeda. Pastinya, pemahaman terhadap al-Quran atau Sunah
bagi seorang alim, pakar bahasa Arab, ahli segala ilmu tafsir dan perangkat
itjihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan dengan pemahaman orang awam yang
mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Quran atau Sunnah.
Itulah
kenapa pada zaman ini banyak bermunculan aliran menyimpang. Jawabannya, karena masing-masing mereka
berusaha kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Masing-masing berupaya mengkaji
kapasitasnya sendiri, padahal belum punya kemampuan di bidang ini. Sebut saja
Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan diterjemah),
Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang mengaku Nabi), dan kesalahpahaman
sebagian kelompok dalam memahami bid’ah, syirik, ziarah kubur dls.
Kedua,
al-Quran dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh ulama terdahulu yang memiliki
kemampuan yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu. Sebut saja: Ulama
madzhab, ulama tafsir, ulama hadis, fuqaha
(ulama fiqih), pakar akidah Ahlussunnah Waljamaah, dan ulama Tasawuf. Hasilnya
telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan
al-Quran dan as-Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud cinta
mereka terhadap umat yang hidup di kemudian hari.
Boleh
dibilang, kemampuan yang dimiliki ulama tersebut tak dapat dicapai oleh orang
setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat
dengan masa hidup Rasulullah SAW dan sahabatnya. Belum lagi keunggunlan
hafalan, penguasaan bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian),
keikhlasan, keberkahan, dll. adalah sebuah keteledoran besar upaya orang
sekarang dalam memahami Islam dengan cara “kembali al-Quran dan Sunnah”
dilakukan tanpa merujuk pada pemahaman para ulama tersebut.
Ketiga,
para ulama telah menghidangkan penjelasan kandungan al-Quran dan as-Sunnah di
dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai “hasil jadi”. Para ulama itu telah
memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses
pengkajian dan penelitian yang rumit.
Pendek
kata, para ulama seakan-akan tlah menghindangkan “makanan siap saji” yang siap
disantap oleh umat tanpa repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab
para ulama tahu kemampuan meracik dan memasak tidak dimiliki semua orang. Di
saat ada kelompok mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan
mengalihkan mereka untuk langsung merujuk al-Quran dan Sunnah, berarti sama
saja menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu
menyuruhnya untuk menanam padi. Dari uraian di atas, nyatalah bahwa ajakan
“kembali kepada al-Quran dan Sunnah” itu belum tentu dianggap benar. Disamping
itu para ulama telah menulis berjilid-jilid kitab itu, mereka tidak
mengutarakan pendapat berdasarkan hawa nafsu. Amat ironis bila karya-karya
ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Quran dan Sunnah itu dituduh
sebagai kumpulan pendapat manusia.
Post a Comment
- Comment dilarang spam-menyebarkan link
- Untuk mendapatkan backlink berkomentarlah menggunakan gmail / openid
- Dilarang komentar 'dewasa'
-Sharing is Caring. Jangan lupa like fanpage kami