Kritik terhadap Presiden, Bentuk Sifat Penjajah yang diterima Indonesia

Jokowi, Basuki 'Ahok', Prabowo Subianto
Banyak orang berkata Indonesia masih belum merdeka, andaikata Bung Karno memang benar, "Apa yang kami (Bung Tomo DKK) hadapi adalah melawan penjajah, namun apa yang kalian hadapi (Generasi kita) adalah melawan negara sendiri."


Mungkin yang digarisbawahi merupakan salah satu "kata bijak yang usang" di lihat dari era yang kita pijak sekarang. Aku memang tidak begitu pandai dalam merangkai kata, tapi bagaimanakah kalau seperti ini.

Apa yang sedang kita hadapi adalah apa yang ditinggalkan penjajah.

Gedung? Jembatan? Jalan? Apa yang ditinggalkan?

Terus terang Bangunan yang ditinggalkan penjajah adalah positifnya, bahkan lebih baik. Yang saya maksud adalah sifat yang ditinggalkan penjajah. Apa yang telah merenggut kemerdekaan kita, nafsu mereka yang seperti binatang buas, mana mungkin kita mau (betah) bersama seseorang yang menyergap kita dengan alasan keuntungan diri belaka?

Sejak SD kita sudah tahu dan mengenal devide et impera, yaitu sebuah politik memecah belah kedua kubu. Adu domba kerennya, baik memanasi raja pribumi dengan kabar bahwa 'tetangga sebelah' sedang merencanakan kudeta, ataupun menawarkan kita dengan wanita dan harta: Akhirnya kita dapat melihat pertempuran sia-sia antara kerajaan di nusantara, bagai bertarung dengan diri sendiri. Tentu yang hancur diri kita sendiri.

Nah, ternyata-ternyata, kelicikan penjajah ini sudah mendarah daging di kita-kita, bagaimana mungkin kita yang dulunya sebagai korban bisa ikut-ikutan ya?

 Misalnya saja dalam berpendapat, ataupun dalam dunia politik, praktek devide et impera (politik adu domba) biasa digunakan untuk menyudutkan suatu kubu maupun menarik simpati publik. Misalnya saja kritik terhadap Presiden, maupun gubernur sekalipun.

[next]


Kita lihat saja, banyak sekali kritik tersebut mulai ‘kebablasan’ sehingga mengandung unsur penghinaan yang paling dalam. Sampai-sampai membawa-bawa nama ras, agama, kelompok. Membuat kita saling membentuk golongannya sendiri dan anti dengan golongan lain.

Awalnya disebarkan oleh ‘para elit’ kepada pendukungnya, ataupun melalui awak media, si ‘para elit’ ini akan mencari celah sesuatu yang bisa dihina dari si A, menyebarkannya, kemudian warga yang tidak mencari fakta sebenarnya, namun langsung terbuai dan mengiyakan, sekali lagi tanpa mencari fakta atau usaha, dsb.

Apa yang tertanam di otak mereka akan disebarkan ke siapapun yang netral ataupun menghina setiap kabar tentang si A, tak peduli itu Gubernur, Presiden, asalkan si ‘golongan elit’ berkata: dia hina! Maka para pengikutnya akan mengiyakan.

Padahal, belum tentu 'para elit' ini bisa lebih baik dari si A, tetapi tak sadarkah bahwa mari, para elit dan si A, untuk saling membantu bersama, bukannya saling tusuk menusuk. Aneh sekali kita mengadu domba diri kita sendiri.

Padahal mereka yang berada di kursi cuman duduk-duduk manis saja, melihat bahwa ah, saya punya pengikut yang setia.

Labels:

Post a Comment

- Comment dilarang spam-menyebarkan link
- Untuk mendapatkan backlink berkomentarlah menggunakan gmail / openid
- Dilarang komentar 'dewasa'
-Sharing is Caring. Jangan lupa like fanpage kami

Refano Pradana

{google-plus#https://plus.google.com/u/0/112244076923112035800/} {pinterest#https://id.pinterest.com/apsdbgsmgs/}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget