Mengapa Indonesia Langganan Olimpiade tapi Bermental Koruptor?



Mungkin kita pernah dengar bahwa Indonesia kita ini memang sering sekali berlangganan juara olimpiade internasional, selain karena usaha keras si siswa sendiri juga karena faktor Z yang berada di jantung kebijakan pendidikan Indonesia sendiri. Kita boleh bangga dengan kinerja siswa yang sudah membawa nama baik Indonesia di mata dunia.

Beberapa alasan salah satunya adalah karena di Indonesia, materi pendidikannya sangat cepat, sehingga sangat sulit untuk dicerna oleh siswa biasa. Ditambah lagi materinya yang tergesa-gesa dan tidak ‘seumuran’.

Sebuah berkah untuk tipe murid yang daya serap belajarnya sangat tinggi, mereka masih sanggup dan senang dengan gaya ngebut-ngebut materi yang diajarkan. Oh, kasihan untuk murid kebalikannya, mereka hanya melongo dan makin cetek memahami apa yang diajarkan.

Dengan perbedaan kecepatan pemahaman tiap siswa, terjadilah kesenjangan yang sangat tinggi, dimana siswa pintar terlihat pintar dan diperhatikan. Siswa dengan daya serap rendah kelihatan bodoh, dan siswa tengah-tengah kelihatan... bodoh.

Banyak sekolah, lebih spesifik pada guru, terlalu berfokus pada siswa-siswa pintar tersebut, dan menghiraukan bakat siswa menengah bawah. Nah, tidak ada siswa bodoh, hanya ada siswa kurang motivasi dan kurang diperhatikan dan terpaksakan. Mereka madesur, dan mewariskan generasi muda mendatang yang dinamakan pengangguran bergelar sarjana.

Bagaimana mata pelajaran yang diberikan?


Terlampau buruk. Sekarang tiap pelajaran sudah disisipi materi agamis, pemahaman anti-korupsi, terlihat dipaksakan bukan. Saking dipaksakannya bahkan tidak terlihat, mananya agamisnya, mananya anti korupsinya.

Justru PKN, Agama, BK, terlalu banyak teorinya, sampai-sampai tidak terlihat fungsi penyampaian moralnya. Ujung-ujungnya cuman tambahan nilai raport.

Nah, kalau saya timbang-timbang, persentase besar materi yang diajarkan adalah 80% memory dan numeracy 19% praktek dan seni 1% moral.

Gak percaya.

Sejak kelas satu SD saja kita diajarkan tambah-tambahan dan pengurangan. Awal yang terlalu cepat, malahan. Di luar negeri, seperti Jerman dan Finlandia, materi penambahan dan pengurangan baru ditujukan setelah kelas 3 SD. Nah, kelas satu sampai kelas dua, anak-anak dilatih berkomunikasi, bercerita, dan mengembangkan kreatifitas dan kebersamaan. Kegiatan diisi dengan bermain, dan tentunya guru SDnya bahkan jauuuh lebih hebat dari dosen Indonesia.

Disana guru SD harus S2 dan tentunya dipilih dari lulusan yang terbaik. Nah, dosen negeri kita, cuman bisa ngelempar skripsi mahasiswanya ke tong sampah.

Itulah mengapa Indonesia langganan juara olimpiade, karena materi yang disampaikan memang terlalu cepat dan dini.

Tetapi efek negatifnya jauh lebih merugikan.

Salahnya sendiri tidak belajar


Anda terlalu banyak menuntut, ya. Bayangkan saja untuk SMA, ada 17 mata pelajaran dan tiap semester terdiri dari 6 bab. Kamu mau baca 102 bab total, hah. Bisa. Tapi kompensasinya, kamu harus lupakan waktu bersosialmu. Les kesana-kesini, pulang malam hari, buka buku lagi. Cuman gara-gara takut nilai ulangannya jelek, ya kalau soal-soal ulangannya ada dibukumu, kalau tidak ada? Percuma baca buku satu lusin, kan?

Anda tidak paham, ya. Coba tanya ke anak SD kelas Satu, tahu gak, dik, apa itu belajar?

“Waduh, kak, saya tidak tahu, di sekolah, sama guru cuman diajar tambah-tambahan sama kurang-kurangan.”

Karena kurangnya pemahaman moral di Indonesia, dan cepatnya materi yang diajarkan, selain timbul banyaknya generasi gagal yang jadi beban (pengangguran), juga muncul: generasi spesial mental bejat atau tidak loyal. 

Tidak Loyal disini sering terjadi pada siswa-siswa genius, mereka benar-benar diperhatikan negara, tentu saja setelah sukses, mereka tidak akan pernah balas budi pada negeri mereka, wong yang dikejar adalah rasa sukses, bukan rasa mengabdi. 

Bejat disini bisa dikatakan koruptor-koruptor kita ini, para pejabat tinggi, dan pemimpin negeri ini. Mereka memang cerdas-cerdas, tetapi di sekolah, mereka cuman diisi pemahaman teori, tanpa moral. Jadi, kalau Anda lihat koruptor ketangkep di televisi, jangan salahkan si dia mengapa korupsi, salahkan apa yang menjadikan mereka seperti itu..
Labels:

Post a Comment

- Comment dilarang spam-menyebarkan link
- Untuk mendapatkan backlink berkomentarlah menggunakan gmail / openid
- Dilarang komentar 'dewasa'
-Sharing is Caring. Jangan lupa like fanpage kami

Refano Pradana

{google-plus#https://plus.google.com/u/0/112244076923112035800/} {pinterest#https://id.pinterest.com/apsdbgsmgs/}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget